FILOSOFI RUMAH ADAT BUGIS
Rumah tempat tinggal suku bugis dibedakan berdasarkan status sosial dalam suku bugis dikenal dengan istilah saoraja, salassa, dan bala. Saoraja raja, yang terdiri dari dua kata yaitu :
sao berarti, gelar rumah raja dan
raja berarti : besar besar, atau raja, penguasa.
Jadi saoraja adalah rumah raja (penguasa). Yang ditempati oleh raja dan keturunannya atau kaum bangsawan. Sedangkan bala, adalah gelar rumah yang ditempati oleh orang maradeka atau orang biasa.
Bila dilihat dari segi kebangsawanannya, kedua jenis rumah (tempat tinggal) ini, tidak mempunyai perbedaan yang prinsipil. Perbedaannya hanya terletak pada status penghuninya dan ukuran rumahnya.
Masalah rumah bugis serta yang bersangkut paut dengan rumah menurut kepercayaan / adat bugis. Dari ketaerangan La Ceppaga seorang Panrita Bola (70 – th) Alamat kampung Garessi Desa Lipukasi Kecamatan Tanete Rilau Kab. Barru. (dikutip dari Disst. Prof. Dr. A. Zainal Abidin Farid SH)
Bentuk Rumah Bugis
Bentuk rumah bugis : Persegi Empat
Untuk mendirikan rumah selalu menggunakan dua arah sebagai arah yaitu timur dan barat.
Kalau rumah menghadap ke timur, maka letaknya :
rumah terdiri dari :
4 tiang ke samping (dari kiri ke kanan) No. 1-2-3-4. dan
4 tiang ke belakang (dari depan ke belakang) No. I-II-III-IV
Tiang 1 = I adalah tiang tempat bersandarnya tangga yang mempunyai sifat laki-laki karena tangga adalah tempat lalu lintas mencari dan membawa rezeki dari sang pria (Kepala Rumah Tangga) untuk sang wanita (Ibu rumah tangga).
Tiang II+2 adalah tiang pusat yang mempunyai sifat perempuan untuk menyimpan dan mempergunakan rezeki/hasil yang diperoleh sang kepala rumah tangga. Tiang II – 2 bila hanya terbatas pada lantai, maka tiang III – 2 menggantikan fungsi posi’ bola atau tiang pusat (pusar rumah).
Menurut kepercayaan orang bugis, mendirikan rumah adalah bagaikan menciptakan hidup baru bagi pria dan wanita, justru karena rumah itu rumah diklassifikasikan sebagai manusia. Bagaikan kehidupan sebagai pria dan wanita yaitu :
Tiang I – 1 = tempat bersandarnya tangga diumpakan pria. Tiang II – 2 atau III – 2 tiang pusat (pusar rumah) diumpakan wanita.
Dalam mendirikan rumah yang membujur ke timur diumpamakan rumah itu sebagai manusia berbaring membujur ke timur maka urutan tiang-tiangnya adalah:
I – 1, 1 – 2, 1 – 3, 1 – 4.
II – 1, II – 2, II – 3, II – 4.
III – 1, III – 2, III – 3, III – 4.
a. Tiang I – 1 difiksikan sebagai kepala manusia dan inilah yang dijadikan sandaran tangga, karena fungsi kepala sebagai manusia itu diterapkan kepada rumah tersebut, menjadi fungsi tempat sandaran rumah. Tangga itulah tempat lalu lintas sang pria mencari dan membawa rezeki kepada wanita. (diumpamakan pula sebagai bagian kepala/mulut tempat masuknya makanan ke perut.
b. Tiang II – 1 adalah masih merupakan bagian dari kepala, sedangkan tiang II – 2 atau III – 2 pusat rumah (posi’ bola)
Pusat mansuia adalah bagian perut yang menyimpan makan untuk hidupnya. Sedang rumah diterapkan sebagai tempat menyimpan hasil/rezeki yang diperoleh oleh sang pria. Setelah kita mengetahui fungsi kedua tiang tersebut maka untuk mendirikan rumah maka kedua tiang inilah yang terlebih dahulu dipilih dan diteliti mutu dan sifat – sifatnya baiknya. Sifat baik dari tiang tersebut dilihat dari pusar (pangkal tangkai yang disebut pasu).
a. Kalau Tiang itu bulat maka empat tiang harus diperiksa yaitu
Pada tiang I – 1, I – 2, II – 1 dan II – 2 atau III – 2 tidak boleh ada pusar yang berhadapan antara tiang I – 1 dan tiang II – 2 dan tiang II – 1 dengan tiang II – 2 atau II – 2.
b. Kalau tiang tiu persegi empat dan tiang II – 2 tidak melewati lantai maka hanya tiga tiang yang harus diperiksa yaitu tiang I – 1, dan tiang I – 2, dan tiang II – 1, tidak boleh ada pusar yang berhadapan antar ketiga tiang tersebut.
ad. a dan ad. b semuanya diperiksa mulai pada arateng sampai pada padongkot.
Lantai yang terdapat diantara tiang I – 1, I – 2, II – 1 dan II – 2 adalah lantai yang suci, yaitu tempat pertama – tama harus ditempati kepala dan ibu rumah tangga bermalam semalam atau tiga malam bila rumah itu mula ditempati dan setelah itu barulah pindah ke tempat tidurnya yang telah ditentukan khusus baginya, yaitu ruang yang ke II dari depan (Lontang Tengngae). Sedang setiap orang yang meninggal dalam rumah tersebut harus ditempatkan pada lantai tersebut (lantai suci).
Setelah tiang untuk sandaran tangga dan tiang untuk pusat rumah telah ditentukan, barulah tiang-tiang dan perkakas rumah lainnya disiapkan.
Tata Cara Mendirikan Rumah
1. Melubang semua tiang-tiang dan melicinkannya (mappa’ dan makkattang).
Kalau tiang – tiang itu akan dilubangi dan dilicinkan maka yang pertama – tama yang harus dikerjakan ialah tiang sandaran tangga dan tiang pusar rumah setelah itu barulah alat – alat lainnya yang dikerjakan.
2. Mendirikan rumah. Dalam mendirikan rumah yang pertama-tama didirikan ialah tiang dasar atau pusar rumah barulah tiang tempat sandaran tangga yang menyusul tiang – tiang lainnya. Untuk mendirikan rumah menurut kepercayaan orang bugis, kedua tiang ini mempunyai fungsi yang ketat dan oleh karena itu di bawah tiang tersebut disimpan benda-benda sebagai berikut:
* a. Kaluku (kelapa)
* b. Golla (gula)
* c. Aju Cenning (kayu manis)
* d. Ade Cenning (adas manis)
* e. Buah Pala
ad a, b, dan c diharapkan agar kehidupan rumah tangga selalu rukun dan bahagia dan murah rezeki.
ad. d, diharapkan agar setiap anggota rumah tangga menaati aturan-aturan adat yang berlaku dalam rumah tangga itu sendiri.
Menempati Rumah Baru (Menre Bola Baru)
1. Kepala dan Ibu rumah tangga bila menempati rumah baru, harus membawa ayam yaitu :
Kepala rumah tangga membawa ayam betina. Ibu rumah tangga membawa ayam jantan. Setelah kepala dan ibu rumah tangga sampai diatas rumah kedua ayam tersebut dilepaskan dan tidak boleh dipotong, karena dianggap sebagai ayam penjaga rumah.
Menurut kepercayaan orang Bugis, membawa ayam berarti kehidupan dan penghidupannya selalu dalam keadaan baik dan tentram, karena dalam istilah Bugis ayam adalah “Manu” diterapkan dalam kehidupan adalah “manuanu mutoi atuwotuwongenna”. Artinya baik-baik. Didalam menempati rumah baru Kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga menempati tempat yang suci satu malam, lalu pindah ke tempat yang telah disediakan yaitu pada Lontang Tengga (ruang tengah).
2. Sebelum kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga menempati rumah baru tersebut, terlebih dahulu ditempatkan buah-buahan yaitu :
* 1. Kelapa bertandan (Kaluku mattunrung) tua dan mudah.
* 2. Pisang bertandang (Otti Mattunrung) yang tua.
* 3. Nangka yang tua
* 4. Nenas yang tua
* 5. Tebu
* 6. Dan lain-lain yang manis-manis.
ad. 2. Dengan menghubungkan buah-buahan lainnya, dicita-citakan agar kehidupan dan penghidupan rumah tangga itu baik-baik dan bahagia. Anasa- cita - cita terkabul. (rifomi-nasai).
3. Setelah upacara menempati rumah baru berlangsung, disediakanlah makanan untuk para tamu-tamu dan bahkan seisi rumah, terutama makanan yang menurut kepercayaan orang-orang bugis membawa pengaruh dalam kehidupan dan penghidupan dalam rumah tangga itu, antara lain :
a. Lana-lana (bedda’) kue ini adalah tepung mentah yang dicampur dengan kelapa dan gula merah. Lana-lana artinya “Masagena” (Longgar) = berkecukupan.
b. Jompo’-jompo’ dan Onde-onde. Kue ini dibuat dari tepung ketan, bentuknya bundar, isinya gula merah. Khusus onde-onde cara memasaknya ialah dengan memasukkannya kedalam air yang sedang mendidih dan sebelum masak onde-onde tersebut muncul terapung di atas air.
Menurut kepercayaan orang-orang Bugis, bahwa generasi di masa mendatang memperoleh kehidupan dan penghidupan yang baik dan bahagia.
Mompo – Timbul – Muncul. Upacara menempati rumah baru kadang-kadang berlangsung selama 3 sampai 7 hari berturut-turut, yang dikunjungi oleh segenap keluarga, bahkan segenap penduduk dalam kampung tersebut.
Macam-macam Rumah Bugis dahulu kala
1. Salassa’ atau Saoraja.
Salassa’ hanya ditempati oleh arung (raja) yang memimpin pemerintahan dan lazim juga disebut Saoraja. Saoraja dapat pula ditempati oleh Bangsawan dan/atau keturunan raja yang terdekat.
2. Salassa Baringeng (lantainya rata).
Salassa Baringeng (lantainya rata) yang ditempati oleh bangsawan yang disebut Anak Cera’ Ciceng.
3. Rumah tiga petak (lantainya bertingkat) memakai tamping tassoddo’.
Rumah tiga petak (lantai bertingkat) yang ditempati oleh mereka yang disebut ata’ simana (ata yang tidak dapat berpisah dengan raja/bangsawan dan mereka ini berhak mendapat warisan baik materil maupun inmateril, antara lain kedudukan.
4. Rumah dua petak.
Rumah dua petak (Tellukkaarateng) ditempati oleh rakyat biasa termasuk:
Ata mana (hamba yang dibeli atau yang dikalahkan dalam judi atau dalam perang).
Ata Passaromase (hamba karena mencari kehidupan, lalu menghambakan diri).
Macam-macam Timpa’ Laja’
* 1. Salassa’ tidak terbatas banyaknya tingkatan Timpa’ Laja’nya.
* 2. Salassa Baringeng, hanya tiga tingkatan timpa’ laja’nya.
* 3. Rumah tiga petak, dua tingkatan timpa’ laja’nya.
* 4. Rumah rakyat / hamba, tidak bertingkat timpa’laja’nya.
Rumah orang Bugis, baik Saoraja maupun bola terdiri atas tiga bagian, ketiga bagian tersebut adalah
* (1) Awa Bola,
* (2) Ale Bola, dan
* (3) Rakkeang.
- Awa’ Bola adalah kolong rumah yang terletak pada bagian bawah, antara lantai dan tanah.
Ale Bola adalah badan rumah yang terdiri dari lantai dan dinding rumah, terletak antara lantai dan loteng rumah.
- Rakkeang adalah bagian rumah yang paling atas, bagian ini terdiri dari loteng dan atap rumah.
Pada Saoraja terdapat Timpa Laja yang bertingkat-tingkat antara tiga sampai sembilan tingkat, seperti dapat kita lihat pada Lontara Panguriseng Abbatirenna Anak Arungnge Ri Soppeng bahwa tingkat Rumah Adat Bugis ialah :
* I. Bocco Timpa’Laja 9 susun
* II. Bocco Timpa’Laja 7 susun
* III. Bocco Timpa’Laja 5 susun
* IV. Bocco Timpa’Laja 3 susun
* V. Bocco Timpa’Laja Polos,
(Mattulada, Prof,DR (1995)
Macam Tangga Rumah Bugis.
1. Safana, untuk salassa atau Saoraja dan salassa baringeng. Lazim terbuat bambu dengan lapisan/dasar bambu beranyam.
Safana juga dapat digunakan oleh rakyat biasa, yang membuat rumah tambahan (sarafo) bagi upacara perkawinan. Penganting dianggap sebagai raja sehari.
2. Tuka, yaitu tangga rumah Ata Simana’ yang mempnyai hubungan darah dengan arung dan atau bangsawan.
Disebut Tuka’ karena pemiliknya mendaki darahnya. Bahasa Bugis yang sinonim ialah tuppu, suatu istilah untuk bahagian ade’ (adat, hukum kebiasaan) yang mengatur tentang Hirarki peraturan ade’.
3. Addengeng, yang terdiri dari :
* a. Addengeng yang mempunyai ibu tangga tiga buah, khusus untuk Pabbicara, pembantu raja, Arung Lili’ dan pejabat-pejabat negeri di luar golongan bansawan al. Inang tau, Anang, Tomacowa-cowa.
* b. Addengeng yang mempunyai ibu tangga dua buah, khusus untuk rakyat biasa dan abadi.
Bentuk rumah Bugis yang lain adalah Bola Sada’ yang berdampingan dua dengan sejajar bahagian depan, bentuk itu disebut Bola Sada’ karena sama besar dan sejajar, rumah ini dipereuntukkan bagi kalangan bangsawan, baik yang mempunyai jabatan negeri maupun tidak. Dari bentuk macam-macam rumah Bugis itu, beserta timpa’laja serta tangganya membuktikan bahwa dalam masyarakat hukum orang Bugis dahulu terdapat standen sebagai berikut :
a. Arung (Raja) yang memerintah, yang lazim dikategorikan berdarah murni yang bergelar Datu, termasuk Ana’Mattola (Putra Mahkota).
b. Anak arung (Bangsawan) yang ada pertalian darah dengan raja yang diklasifikasikan lagi dalam beberapa bagian.
c. Mardeka (Jemma Lappa’) termasuk tau Tongeng Karaja, yang masih mempunyai darah bangsawan, tetapi tidak dapat disebut Anakarung lagi, yaitu rakyat biasa yang jumlahnya terbanyak.
d. Ata (Hamba) abdi yang terdiri dari :
* 1. Ata Simana’ yaitu hamba yang tidak dapat dipisahkan dengan Raja atau bangsawan, yang dapat saling waris-mewarisi dengan Puangnya (tuannya) baik materil maupun inmateril.
* 2. Ata Mana’ yaitu hamba yang dibeli (lazim sanaknya sendiri yang menjualnya untuk merampas barang-barang pusaka bersama), atau orang yang dipidana mati tetapi diberi pengampunan, dapat hidup sebagai abdi raja/Bangsawan, atau ditawan dalam peperangan.
* 3. Ata Passaromase, yaitu hamba yang mengabdikan diri untuk dapat hidup, termasuk orang-orang yang kalah main judi atau berhutang, tetapi tak dapat membayar utangnya (pandeling).
Dalam semua bentuk dan macam rumah Bugis itu dikenal istilah Bola Gennea’ (rumah Sempurna). Terutama dalam hubungan filsafat dan pandangan hidup orang-orang Bugis yang disebut dengan Sulafa’ Eppa (persegi empat). Karena bentuk rumah harus persegi empat yang memiliki empat unsur kesempurnaan. Demikianpun bentuk kampung dahulu kala juga persegi empat. Orang-orang Bugis baru dikatakan sempurna dan lengkap kalau memiliki Sulafa’Eppa (laki-laki bersegi empat). Pribahasa dan Petuah Petitih: ”Iyyafa muabbaine mubolaifi Sulafa’ Eppa’e” berarti barulah engkau kawin kalau memiliki empat segi.
Seorang yang hendak bangun dari tidurnya, menyiapkan diri sebelum bangun, yang disebut mappatefu (melengkapi diri) supaya selamat menghadapi apapun juga. Dunia dan jagat semesta dipandang persegi empat. Rumah barulah dianggap lengkap kalau tersedia tempat untuk :
* a. Tamu, Ialah ruangan bagian depan rumah.
* b. Kepala dan ibu rumah tangga, yaitu bagian tengah rumah, dimana terdapat juga posi’ bola lambang wanita dan kemakmuran.
* c. Anak-anak dan gadis-gadis dalam rumah tangga itu, bagian belakang.
* d. Para abdi (kalau ada), bahagian belakang juga untuk wanita-wanita. Untuk laki-laki lazim ditempatkan di rumah kecil di samping atau di belakang induk rumah.
Jadi rumah bugis dibagi atas tiga bahagian yaitu :
* 1. Lontang risaliweng (bahagian depan)
* 2. Lontang ri tengnga (bahagian tengah) yang di dinding dari bahagian depan.
* 3. Lontang ri laleng (bahagian dalam atau belakang)
Dalam memeliharah rumah dan rumah tangga, kampung dan negeri dipakai pedoman elompugi’ (nyanyian Bugis) yang mengandung makna yang mendalam sekali sebagai berikut:
Tapalla’-palla’ ri passirinna bolata tataneng ade’.
Tafallimpo bunga fute.
Tuwo ade’ta mallimpo bunga futeta.
Arti lett. :
Mari kita memagari negara atau rumah kita dengan pagar adat.
Kita semarakkan keharuman seluruh isi negeri atau isi rumah kita.
Hidup adat kita, hidup mengharum mewangi isi negeri atau rumah kita.
Sebagaimana negeri, kampung dan rumah, harus dipagari secara persegi empat, maka seseorang juga harus memagari dirinya dengan sulafa eppa yakni :
Ade’, Rafang, Wari’, dan Tuppu (Adat, Yurisprudensi, Protokol, dan aturan hirarki).
Pappaseng (amanah) orang-orang Bugis dahulu terkenal, bahwa barang siapa yang pernah bernaung di pinggir rumah orang lain maka tidak diperbolehkan lagi berhati jahat terhadapnya : “Rekkua siya furami riyaccinaungi fassiringpolana seuwae tau, tempeddingngi rikira-kira rimaja’e”
Golongan bangsawan yang disebutkan di atas, dalam pergaulan sehari-hari oleh masyarakat disebut dengan sapaan, Datue, Bau, Petta, dan Puang. Namun kata puang ini juga diberikan sapaan kepada orang-orang yang dituakan atau dihormati serta sesama anak bangsawan yang mutlak menyapa kepada yang tua dengan kata Puang. Dan kata Daeng digunakan bagi yang berstatus Tomadeceng, dalam menyapa sesamanya.
Inilah salah satu aspek budaya bagi masyarakat Bugis pada umumnya dan khususnya di Baringeng ini yang kemudian menjelma dalam system hubungan social dalam bentuk stratifikasi. Ia tumbuh dan berkembang hingga saat ini sebagai interaksi simbolik alam kehidupan masyarakat, sebagaimana masyarakat lainnya di berbagai golongan etnis di alam raya ini khususnya suku Bugis.
Seperti yang telah dipaparkan di muka bahwa penduduk yang mendiami Baringeng ini adalah 100% orang Bugis, maka dalam pergaulan sehari-hari mereka mernggunakan Bahasa Bugis. Demikian pula aspek kehidupan social lainnya dalam pergaulan sehari-hari di kalangan masyarakat Baringeng, pada umumnya warga yang berusia muda sangat menghormati orang-orang tua. Seperti misalnya dalam pergaulan, bila seorang anak yang sedang bercakap dengan orang yang seusia ayah atau ibunya, maka si anak tersebut akan selalu mengiringi ucapannya-ucapannya dengan kalimat atau ungkapan kata sesuai dengan status sosialnya, atau kata Puang, yaitu suatu ungkapan penghormatan yang biasa ditujukan kepaa golongan bangsawan. Demikian pula dalam penggunaan kata ganti yaitu :
* - Ada Cenga, yaitu ungkapan kata yang ditujukan kepada raja atau anak Bangsawan, atau orang yang status social lebih tinggi dari kita, seperti kata “Anutta Puang, Alena Petta Puang”.
* - Ada Makkarateng, artinya kata-kata yang diperuntukkan kepada yang sama derajatnya contoh kata “Idi’, anutta pada idi” kata pada idi ini tidak boleh kita katakan apabila kita berbincang dengan seorang raja atau bangsawan.
* - Ada Cuku’,artinya ucapan - ucapan yang diungkapkan raja, anak bangsawan kepada yang dibawahnya, seperti “iko, anummu”.
Penempatan ketiga kata ganti inilah biasa menjadi ukuran bagi masyarakat Bugis dalam arti “Misseng Bettuang” dan menjadi pengukuran dan penilaian orang/masyarakat.
Kehidupan social masyarakat yang masih nampak hingga kini di Baringeng ini yang masih nyata dan menonjol, ialah semangat kerja sama secara gorong royong, sebagai sosialisasi kebersamaan dalam bentuk kerja secara gotongroyong, seperti ketika terjadi atau adanya warga yang ditimpa musibah kematian, perkawinan, khitanan, mendirikan rumah baru, kegiatan-kegiataan keagamaan, serta menanam padi, dan sebagainya. Sifat gotong royong ini disebut ”Sibali reso atau Sibali Peri” yang bermakna sama-sama bekerja dan sama-sama menanggung resiko untuk kemaslahatan bersama.
Dalam kehidupan budaya, nampaknya masyarakat yang mendiami Baringeng ini tidak mempunyai perbedaan dengan kehidupan budaya pada kerajaan kecil lainnya yang merupakan bekas wilayah Kerajaan Soppeng pada khususnya dan pada daerah Bugis pada umumnya. Hal itu dapat dimengerti dan dipahami bahwa Baringeng ini adalah bekas daerah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang bergelar Petta Baringeng. Namun yang menjadi kajian dalam penulisan dan penelitian ini adalah H. Andi Mappa Petta Baringeng.
Sebagaimana Baringeng ini mengenal berbagai macam seni budaya tradisional, seperti: seni tari, seni sastra dn seni musik. Seni tari yang sering dilakukan ialah Tari Padduppa artinya tarian yang dilakukan pada saat penjemputan tamu dikala ada pengantin atau perayaan atau menjemput tamu, yang datang pada acara itu. Seni sastra yang merupakan bagian tak terpisahkan dari seluruh rangkaian kegiatan komunikasi antara sesama baik dalam berkomunikasi menyampaikan maksud maupun dalam berkomunikasi dalam pembicaraan nasihat atau petua-petua leluhur, hal ini dimaksudkan adalah kata-kata “Galigo” kata sindiran yang bermakna.
Biasanya bentuk-bentuk “Galigo” dari Bahasa Lontara Bugis ini didengar pada saat ada peminanan / pelamaran, pesta perkawinan serta penerimaan tamu. Bukan hanya itu tapi semua dapat dilakukan diucapkan dalam kehidupan berkomunikasi dengan sesamanya. Salah satu ucapan kata Galigo dikala kita menerima tamu ialah :
“Topole enre’ni’ mai ri bola, majeppu pole-inittu bola malappa, punnae bola massagena. talesso tatudang tejjali tettappere banna mase-mase”,
Makna yang terkandung di dalam ungkapan kata Galigo ini ialah Tuan rumah mengundang orang yang datang (tamunya) dan menyampaikan kerelaannya menerima tamunya, kemudian merendahkan diri tidak punya apa-apa, namun yang ada adalah keakraban antara kita.
SAORAJA LA PINCENG - BARRU
Keindahan akan karakteristik yang khas dari arsitektur nusantara telah dikenal luas hingga ke luar negeri, Arsitektur nusantara sebagian besar merupakan bangunan rumah adat atau rumah tinggal yang dibangun berdasarkan adat dan tradisi setempat. Proses pendirian rumah tradisional sejak awal penentuan lokasi hingga didirikan dan dihuni, tidak pernah lepas dari pengaruh adat, kepercayaan dan tradisi. Oleh karena itu, arsitektur nusantara seringkali disebut juga sebagai Arsitektur Tradisional atau Rumah Tradisional.
Arsitektur tradisional merupakan hasil dari lingkungannya. Selain itu, pembangunan Rumah Tradisional selalu melibatkan tidak hanya pemilik rumah namun juga seluruh masyarakat setempat atau komunitas.
Rumah-rumah adat di Indonesia memiliki bentuk dan arsitektur masing-masing daerah sesuai dengan budaya adat lokal. Rumah adat pada umumnya dihiasi ukiran-ukiran indah, pada jaman dulu, rumah adat yang tampak paling indah biasa dimiliki para keluarga kerajaan atau ketua adat setempat menggunakan kayu-kayu pilihan dan pengerjaannya dilakukan secara tradisional melibatkan tenaga ahli dibidangnya.
Terlepas dari segi antropologi ataupun asal usulnya, bentuk Rumah adat Tradisional saoraja lapinceng, menggambarkan karakteristik dan keindahan arsitektur nusantara, serta kekayan adat dan tradisi lokal. akan tetapi unsur-unsur lokal dianggap telah kuno dan tidak menarik. Kearifan lokal dan tradisi ikut tergerus perkembangan jaman.
Oleh karena itu, kesadaran akan pentingnya belajar karakteristik dan kearifan arsitektur tradisional nusantara melalui karakteristik rumah adat saoraja lapinceng.
Kata kunci : rumah adat, karakteristik arsitektur nusantara, saoraja lapincen
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rumah Adat adalah bangunan yang memiliki ciri khas khusus, digunakan untuk tempat hunian oleh suatu suku bangsa tertentu. Rumah adat merupakan salah satu representasi kebudayaan yang paling tinggi dalam sebuah komunitas suku/masyarakat. Keberadaan rumah adat di Indonesia sangat beragam dan mempunyai arti yang penting dalam perspektif sejarah, warisan, dan kemajuan masyarakat dalam sebuah peradaban.
Rumah-rumah adat di Indonesia memiliki bentuk dan arsitektur masing-masing daerah sesuai dengan budaya adat lokal. Rumah adat pada umumnya dihiasi ukiranukiran indah, pada jaman dulu, rumah adat yang tampak paling indah biasa dimiliki para keluarga kerajaan atau ketua adat setempat menggunakan kayu-kayu pilihan dan pengerjaannya dilakukan secara tradisional melibatkan tenaga ahli dibidangnya, Banyak rumah-rumah adat yang saat ini masih berdiri kokoh dan sengaja dipertahankan dan dilestarikan sebagai simbol budaya Indonesia.
Seiring perkembangan zaman, maka terjadi pula perubahan kebutuhan bangunan manusia di zaman yang baru ini. Rumah adat atau rumah tradisional pun banyak yang mengalami perubahan dan tidak sedikit rumah adat atau tradisional yang hampir punah. Kebutuhan manusia yang berubah menyebabkan terjadinya perubahan pada kebutuhan bangunan yang kurang sesuai dengan yang ada sebelumnya. Tidak jarang rumah tradisional atau rumah adat yang ada mengalami perubahan dan tidak memperhatikan nilai filosofis yang seharusnya diperhatikan.
Terjadinya perubahan tersebut menyebabkan perlu diidentifikasi kembali mengenai rumah adat tradisional saoraja lapinceng kabupaten barru yang ada saat ini.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka permasalahan yang akan dirumuskan dan dipecahkan dalam penelitian ini antara lain :
a) Bagaimana karakteristik rumah adat tradisional saoraja lapinceng kabupaten barru ?
b) Bagaimana kondisi rumah adat tradisional saoraja lapinceng kabupaten barru ?
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Latar Belakang Sejarah
Kabupaten Barru dahulu sebelum terbentuk adalah sebuah kerajaan kecil yang masing-masing dipimpin oleh seorang raja, yaitu: Kerajaan Berru (Barru), Kerajaan Tanete, Kerajaan Soppeng Riaja dan Kerajaan Mallusetasi.
Pada masa pemerintahan Belanda dibentuk Pemerintahan Sipil Belanda di mana wilayah Kerajaan Barru, Tanete dan Soppeng Riaja dimasukkan dalam wilayah Onder Afdelling Barru yang bernaung di bawah Afdelling Parepare. Sebagai kepala Pemerintahan Onder Afdelling diangkat seorang control Belanda yang berkedudukan di Barru, sedangkan ketiga bekas kerajaan tersebut diberi status sebagai Self Bestuur (Pemerintahan Kerajaan Sendiri) yang mempunyai hak otonom untuk menyelenggarakan pemerintahan sehari-hari baik terhadap eksekutif maupun dibidang yudikatif.
Dari sejarahnya, sebelum menjadi daerah-daerah Swapraja pada permulaan Kemerdekaan Bangsa Indonesia, keempat wilayah Swapraja ini merupakan 4 bekas Self bestuur di dalam Afdelling Parepare, yaitu:
1. Bekas Self bestuur Mallusetasi yang daerahnya sekarang menjadi kecamatan Mallusetasi dengan Ibu Kota Palanro, adalah penggabungan bekas-bekas Kerajaan Lili di bawah kekuasan Kerajaan Ajattapareng yang oleh Belanda diakui sebagai Self bestuur, ialah Kerajaan Lili Bojo dan Lili Nepo.
2. Bekas Self bestuur Soppeng Riaja yang merupakan penggabungan 4 Kerajaan Lili di bawah bekas Kerajaan Soppeng (Sekarang Kabupaten Soppeng) Sebagai Satu Self bestuur, ialah bekas Kerajaan Lili Siddo, Lili Kiru-Kiru, Lili Ajakkang dan Lili Balusu.
3. Bekas Self bestuur Barru yang sekarang menjadi Kecamatan Barru dengan lbu Kotanya Sumpang Binangae yang sejak semula memang merupakan suatu bekas kerajaan kecil yang berdiri sendiri.
4. Bekas Self bestuur Tanete dengan pusat pemerintahannya di Pancana, daerahnya sekarang menjadi 3 Kecamatan, masing-masing Kecamatan Tanete Rilau, Kecamatan Tanete Riaja dan Kecamatan Pujananting.
Seiring dengan perjalanan waktu, maka pada tanggal 24 Februari 1960 merupakan tonggak sejarah yang menandai awal kelahiran Kabupaten Daerah Tingkat II Barru dengan ibukota Barru, berdasarkan Undang-Undang Nomor 229 tahun 1959 tentang pembentukan Daerah-daerah Tingkat II di Sulawesi Selatan. Kabupaten Barru terbagi dalam 7 Kecamatan yang memiliki 40 Desa dan 14 Kelurahan, berada ± 102 Km di sebelah Utara Kota Makassar, ibukota Sulawesi Selatan.
Sebelum dibentuk sebagai suatu Daerah Otonom berdasarkan UU No. 29 Tahun 1959, pada tahun 1961 daerah ini terdiri dari 4 wilayah Swapraja di dalam kewedanaan Barru, Kabupaten Parepare lama, masing-masing Swapraja Barru, Swapraja Tanete, Swapraja Soppeng Riaja dan bekas Swapraja Mallusetasi. Ibukota Kabupaten Barru sekarang bertempat di bekas ibukota Kewedanaan Barru.
2.2 Letak Geografis, Topografi Wilayah Kabupaten Barru
Kabupaten Barru berada di pesisir Barat Provinsi Sulawesi Selatan, terletak antara koordinat 4⁰ 05’ 49” - 4⁰ 47’ 35” Lintang Selatan dan 119⁰ 49’ 16” Bujur Timur.
Dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
- Sebelah Utara : Kota Parepare dan Kabupaten Sidrap
- Sebelah Timur : Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Bone
- Sebelah Selatan : Kabupaten Pangkajene Kepulauan
- Sebelah Barat : Selat Makassar
Luas Wilayah Kabupaten Barru = 1.174,72 km2 (11,427 Ha) yang terdiri dari daerah pantai, dataran rendah, dataran tinggi perbukitan dan gunun g-gunung (pegunungan).
Ketinggian wilayah Kabupaten Barru 0 - 25 meter dari permukaan laut (mdpl) seluas 26.319 Ha (22,40 %); 25 - 100 m dpl seluas 12.543 Ha (10,68 %); 100 - 500 m dpl seluas 52.781 Ha (44,93%); 500 - 1.000 mdpl seluas 23.812 Ha (20.27 %); 1.000 - 1.500 m dpl seluas 1.941 Ha (1,65%) dan > 1.500 mdpl seluas 75 Ha (0,06%).
Kemiringan lereng 0 – 2 % seluas 26.596 Ha (22,64 %); 3 - 15 % seluas 7.043 Ha (5,49%); 16-40 % seluas 33.246 Ha (28,31%) dan > 40% seluas 50.587 Ha (43,06%).
Jenis tanah d iKabupaten Barru didominasi oleh jenis Regosol seluas 41.254 Ha (38,20%); Mediteran seluas 32.516 Ha (27,68%); Litosol seluas 29.043 Ha (24,72%); Aluvial seluas 4.659 Ha (2,48%).
2.3 Sistem Kekerabatan dan Hubungan Sesama Manusia pada Adat Bugis Barru
Pengetahuan tentang sesama manusia juga tidak dapat diabaikan. Sebelum terpengaruhilmu psikologi modern, sebuah suku bangsa dalam bergaul dengan sesamanya biasanya berpegangan dengan ilmu firasat (pengetahuan tantang tipe-tipe wajah) atau pengetahuan tentang tanda-tanda tubuh tersebut. Dalam hal ini bisa dikategorikan ada di dalamnyayaitu pengetahuan tentang sopan-santun, adat-istiadat, sistem norma, hukum adat, silsilah,sejarah, dsb.
Dalam Suku Bugis, adat istiadat (yang juga dikenal dengan konsep ade‘), kontrak sosial, serta spiritualitas yang terjadi di masa lalu mengacu kepada kehidupan dewa-dewa yang diyakini. Di sana juga dikenal istilah pamali sebuah ungkapan yang bersifat spontan sebagai bentuk pelarangan dengan penekanan
pada kejiwaan, untuk tidak melanggar hal yang dianggap pemali.
Ada pula istilah siri’, yaitu ajaran moralitas untuk menjaga dan mempertahankan diri dan kehormatannya. Siri’ juga bisa dikatakan hukum adat karena jika seorang anggota keluarga melakukan tindakan yang membuat malu keluarga, maka ia dianggap menginjak ajaran siri’ dan akan diusir atau dibunuh. Namun, adat ini sudah luntur di zaman sekarang ini. Siri’ terbagi menjadi dua yaitu, siri' nipakasiri‘ dan siri' masiri'.
Sistem kekerabatan orang Bugis disebut assiajingeng yang mengikuti sistem bilateral atau sistem yang mengikuti pergaulan hidup dari ayah maupun dari pihak ibu. Dalam suku Bugis zaman dulu dikenal tiga strata sosial atau kasta, yaitu ana’arung (bangsawan) yang punya beberapa sub kasta lagi (kasta tertinggi).
To Maradeka atau Orang merdeka (orang kebanyakan sebagai kasta pertengahan), dan yang terakhir kasta terendah yaitu kasta ata atau budak. Perlu dicatat pula dalam status sosial yang berhubungan dengan status gender di suku Bugis ada yang dikenal dengan istilah bissu, sebutan untuk seorang transgender (waria), menariknya bissu dalam masyarakat Bugis memiliki kedudukan terhormat dan mendapat julukan manusia setengah dewa.
2.4 Sistem Kepercayaan dan Mitologi Lokal Bugis
Di Sulawesi Selatan terdapat sistem kepercayaan tradisional yang bersumber pada mitologi I Lagaligo. Kepercayaan ini tidak lenyap, meskipun semakin serius terdesak dan bertentangan oleh ajaran islam yang masuk ke wilayah ini akhir abad ke-16.
Dipandang dari ranah politik, mitologi merupakan suatu kebutuhan yang eksistensi nilai-nilai yang berfungsi untuk mempertahankan keberkangsungan hidup suatu masyarakat. Dengan mitologi, secara sadar atau tidak, suatu otoritas akan diamuni oleh para penganutnya. Oleh karena itu setiap pembentukan kekuasaan baru dalam masyarakat tradisionil biasa diikuti dengan mitologisasi kekuasaan itu membenarkan eksistensinya dimata kelompok atau lingkungan pengikutnya. Mitos mengukuhkan kedudukan penguasa dalam masyarakatnya.
Mitologi I Lagaligo semula milik kerajaan luwu yang terletak di utara teluk Bone, kemudian menjadi milik seluruh komunitas Bugis; bahkan meluas pada beberapa suku yang berbahasa sendiri, seperti suku Toraja, Enrekang, Mandar, Wolio (Sulawesi Tenggara), Kaili (Sulawesi Tengah) dan Gorontalo.
Meskipun dalam aneka cerita lepas yang masing-masing tidak memiliki hubungan. Di Luwu cerita I Lagaligo lebih merupakan hasil ciptaan orang-orang setempat, meskipun demikian, memiliki fungsi yang sama, yaitu menjadi sumber berbagai tradisi dantata cara adat, bahkan menjadi sastra keramat yang mengisahkan hal ikhwal nenek moyang pemilik cerita mereka hormati. Sebagai sastra yang keramat. Di Sidenreng pada pertengahan abad 9, syair-syair I Lagaligo dibacakan untuk menghormati orang sakit.
Cerita I Lagaligo dimulai dengan permufakatan para Dewa di Kayangan untuk mengisi kehidupan dunia tengah (Bumi), dengan mengawinkan Batara Guru yaitu anak dari Datu PaotoE (Sang Pencifta) dengan We Nyilitimo yaitu anak dari Ri Selleng di dunia Bawah. Dari perkawinan ini lahirlah Batara Lattu yang dikawinkan dengan We Datu Senngeng, anak La Urumpessi. Perkawinan yang kedua melahirkan anak kembar laki-laki dan perempuan yaitu Sawerigading dan Tenriabeng. Dengan melalui petualangan yang berliku akhirnya Sawerigading berhasil mempersunting I We Cudai dari negeri Cina.
Dari perkawinan yang terakhir ini lahirlah I lagaligo. Selanjutnya We Tenriabeng mempunyai anak yaitu Salinrunglangi yang kelak kawin dengan putri Sawerigading yang benama Mutiotoja. Batara Guru, Batara Lattu, dan Salinrunglangi adalah raja dunia tengah (Bumi) yang berkedudukan di Luwu.
Datu PatotoE yang merupakan sang pencifta mempnyai peran yang sangat sentral, ia memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk menghubungkan kayangan, bumi dan dunia bawah. Transfer dari masing-masing dunia hanya terjadi atas kehendaknya, dan ditandai dengan kejadian alam seperti petir bersahut-sahutan, daratan dan lautan berguncang dengan hebat serta keadaan gelap gulita.
Keadaan menjadi normal kembali ketika perpindahan itu mencapai kesempurnaan. Hal ini terjadi misalnya ketika Salinrunglangi dipindahkan dari kayangan ke bumi yaitu di kerajaan Luwu. Salinrunglangi kemudian disebut dengan To manurung (orang yang turun dari kayangan) yang berwenang memerintah seluruh bumi dan isinya.
Pada akhir cerita Datu patotoE berpesan lewat utusannya supaya diusahakan orang-orang yang berdarah murni saling kawin-mawin. Raja di Luwu dipilih diantara bangsawan, yaitu yang paling tinggi derajat kebangswanannya. Menjelang pintu masuk kayangan akan ditutup dan dunia bawah akan dipalang, Datu PatotoE berjanji bahwa sejak saat itu dan seterusnya manurung-manurung berdarah putih dari waktu ke waktu dengan diam-diam dan secara rahasia akan dikirim ke Bumi, tempat kediaman manusia.
2.5 Karakteristik Arsitektur Rumah Adat Saoraja Lapinceng Barru
Pada umumnya karakteristik rumah tradisional adat suku bugis yaitu rumah adat bugis yang bisa dipindahkan dari satu tempat ketempat lain dengan konstruksi yang dibuat secara lepas-pasang (knock down). Orang Bugis memandang rumah tidak hanya sekedar tempat tinggal tetapi juga sebagai ruang pusat siklus kehidupan, tempat manusia dilahirkan, dibesarkan, menikah, dan meninggal.Karena itu, membangun rumah haruslah didasarkan tradisi dan kepercayaan yang diwarisi secara turun temurun dari leluhur. Konstruksi rumah berbentuk panggung yang terdiri atas tingkat atas, tengah, dan bawah yang juga sudah diatur dengan fungsi-fungsi khusus yaitu: tingkat atas digunakan untuk menyimpan padi dan benda-benda pusaka. Tingkat tengah, yang digunakan sebagai tempat tinggal, terbagi atas ruang-ruang untuk menerima tamu, tidur, makan dan dapur. Tingkat dasar yang berada di lantai bawah diggunakan untuk menyimpan alat-alat pertanian, dan kandang ternak.
Rumah tradisional bugis dapat juga digolongkan berdasarkan status pemiliknya atau berdasarkan pelapisan sosial yang berlaku.
Saoraja La Pinceng sendiri dibuat pada tahun 1895 terletak di Dusun Lapasu atau Bulu Dua Kabupaten Barru. Ukuran Ale Bola atau bangunan rumah induk berukuran kurang lebih 23,50 x 11 meter. Jumlah tiang Saoraja La Pinceng sebanyak 35 buah dengan panjang sekitar 6,50 meter, dan lebar sekitar 5,50 meter. Selain itu, juga terdapat sembilan buah tiang dengan ukuran 3 x 3 meter. Bangunan rumah dapur memiliki panjang sekitar 11 meter dan lebar sekitar 8 meter, dengan jumlah tiang 20 buah (5 x 4), ditambah dua buah tiang antara Ale Bola dengan rumah dapur yang berfungsi sebagai penyambung dan tempat penyanggah tangga belakang. Selain itu, di dalam lokasi Saoraja La Pinceng terdapat pula beberapa bangunan antara lain, rumah jaga dengan ukuran sekitar 7,50 x 4 meter, bangunan panggung pementasan dengan ukuran sekitar 9,50 x 5 meter. Juga terdapat bangunan kamar mandi dan sumur dengan ukuran sekitar 8,50 x 6,20 meter. Luas lokasi secara keseluruhan sekitar 4.000 meter persegi.
Selain itu, Sebelum masyarakat Bugis mengenal agama ‘impor’ seperti Islam, Kristen dan lain-lain, loteng rumah sebagai tempat menyemayankan jenazah. Jenazah diletakkan di dekat jendela kecil bagian depan (timpa’ laja).
Timpa’ laja menjadi jendela tempat melayang atau menghilangnya jenazah bagi masyarakat yang memiliki tingkat keilmuan, pengetahuan, dan kebaikan yang mumpuni. “Jenazah itu menunggu kilat dan guntur. Jika terjad SAi, jenazah akan menghilang. Jadi ditimpa’na millajangnna (dibuka dan melayang),” (Ibrahim, 2017)
Di rumah adat Lapinceng, di dekat timpa’ laja terdapat tiga balok menjorok dan mengapit pada di tiang utama rumah. Balok-balok itu diperkirakan tempat atau dudukan dalam meletakkan jenazah. Ia menggunakan peti atau hanya kain balutan jenazah.
Lapinceng berdiri di lahan 43 are. Halaman ditumbuhi rumput hijau. Di bagian depan ada rumah jaga. Bagain samping, ada hamparan sawah dan di depan mengallir Sungai Balusu.
Dari bagian depan, rumah Lapinceng berbeda dengan rumah Bugis lain. Teras tidak mengikuti badan rumah dan tertutup. Biasa, teras rumah Bugis selalu terbuka, tempat beristirahat penghuni dan tempat bercengkrama. Teras tertutup seperti menutup akses masyarakat luar melihat langsung keadaan bangunan. Apa yang menyebabkan seperti itu ? teras kecil di depan rumah tidak untuk orang, melainkan tempat kuda raja. (Ibrahim, 2017). Salah satu asumsi yang menguatkan, adalah bentuk anak tangga disusun rapat dan lebar. “Kalau tangga manusia, pasti berjenjang. Ini tidak, tentu memudahkan kuda menapak naik.” (Ibrahim, 2017).
Saat memasuki ruang utama rumah Lapinceng yang lapang, terlihat balok berdiri tidak sama tinggi. Balok itu, menandakan posisi strata sosial para tamu. Yang paling tinggi di sebelah kanan kiri raja, paling rendah di dekat ruang keluarga menuju dapur.
Pada ruang utama itu, terdapat dua buah pintu geser. Satu menuju ruang keluarga, satu berhubungan dengan kamar raja. Memasuki ruang tengah, terdapat tiga buah kamar. Kamar raja, selir dan keluarga.
Secara keseluruhan, rumah Lapinceng menggunakan 35 tiang dengan 23 jendela. Tinggi rumah dari permukaan tanah sekitar 6,5 meter, dengan tinggi keseluruhan tiang mencapai 15 meter hingga pucuk atap.
Tiang dan dinding kayu rumah ini menggunakan kayu bitti berlantai bambu. Potongan bambu untuk lantai diurut dengan begitu rupa, hingga semua ruas tulang benar-benar sejajar. “Jika menebang 100 bambu, bisa untuk lantai hanya 40 buah, karena tulang ruas harus benar-benar seajajar,” (Ibrahim, 2017).
METAFORA ARSITEKTUR
Metafora merupakan bagian dari gaya bahasa yang digunakan untuk menjelaskan sesuatu melalui persamaan dan perbandingan.
Metafora berasal dari bahasa latin yaitu “Methapherein” yang terdiri dari 2 buah kata yaitu “metha” yang berarti : setelah, melewati dan “pherein” yang berarti :membawa.
Secara etimologis diartikan sebagai pemakaian kata-kata bukan arti sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan dan perbandingan.Pada awal tahun 1970-an muncul ide untuk mengkaitkan arsitektur dengan bahasa, menurut Charles Jenks dalam bukunya “The Language of Post Modern” dimana Arsitektur dikaitkan dengan gaya bahasa, antara lain dengan cara metafora.Pengertian Metafora dalam Arsitektur adalah kiasan atau ungkapan bentuk, diwujudkan dalam bangunan dengan harapan akan menimbulkan tanggapan dari orang yang menikmati atau memakai karyanya.
Metafora mengidentifikasikan hubungan antara benda dimana hubungan tersebut lebih bersifat abstrak daripada nyata serta mengidentifikasikan pola hubungan sejajar. Dengan metafora seorang perancang dapat berkreasi dan bermain-main dengan imajinasinya untuk diwujudkan dalam bentuk karya arsitektur.
Metafora dapat mendorong arsitek untuk memeriksa sekumpulan pertanyaan yang muncul dari tema rancangan dan seiring dengan timbulnya interpretasi baru. Karya –karya arsitektur dari arsitek terkenal yang menggunakan metoda rancang metafora,hasil karyanya cenderung mempunyai langgam Postmodern.
Metafora atau kiasan pada dasarnya mirip dengan konsep analogi dalam arsitektur, yaitu menghubungkan di antara benda-benda. Tetapi hubungan ini lebih bersifat abstrak ketimbang nyata yang biasanya terdapat dalam metode analogi bentuk. Perumpamaan adalah metafora yang menggunakan kata-kata senada dengan “bagaikan” atau “seperti” untuk mengungkapkan suatu hubungan. Metafora dan perumpamaan mengidentifikasi pola hubungan sejajar.
Charles Moore, dalam suatu pembahasan tentang hal menarik hatinya, mengemukakan bahwa ia ingin agar bangunan-bangunan menyerupai batu alam. Metafora itu dikembangkannya dalam suatu skenario singkat:
Di Pulau St. Simon, Georgia, Kondominium-kondominium dekat pantai melakukan sesuatu untuk menanggapi citra (bagai batu alam ) ini. Dalam hal ini terjadi dialog antara konteks lingkungan dengan bangunan yang dibangun. Rupanya ini adalah sebuah perkebunan Georgia tua, tapi sangat besar, di bagian dalam maupun luarnya terdiri dari sekumpulan tembok yang berwarna cerah dan meriah yang sangat dekoratif dalam sebuah ruang interior.
Batu alam adalah metafora konseptual yang mengemukakan bagaimana bangunan dapat mempunyai dua citra sekaligus. Bila dipandang dari luar, bangunan tersebut memiliki citra yang mungkin senada dengan alam sekitar. Ia dapat mempunyai citra yang berlainan di dalam bangunan. Bagaikan suatu lingkungan yang menghibur, teatrikal, dan dramatis yang cocok untuk daerah peristirahatan.
Contoh-contoh lain tentang metafora meliputi daftar provokatif definisi-definisi dan penjelasan-penjelasan tentang berbagai aspek arsitektur. Definisinya tentang arsitektur sendiri adalah suatu perumpamaan. Arsitektur bagaikan Kristal. Metafora-metafora lain yang dibahas di bukunya, In Praise of Architecture meliputi, “Obelisk adalah sebuah teka-teki”, “sumber adalah suatu suara”, “Kamar adalah suatu dunia”, “Pintu adalah suatu undangan”, “Deretan kolom adalah sebuah paduan suara”, “Rumah adalah suatu mimpi.”
Hal ini dibuktikan oleh beberapa arsitek dalam merancang karyanya. Sebut saja Mario Botta, Daniel Libeskind, dan Jean Nouvel. Kalau dalam negeri kita mengenal M. Ridwan Kamil dan Adi Purnomo yang pernah menggunakan metafora dalam perancangan karya arsitekturnya.
Mario Botta dalam karyanya The Botta Berg Oase, Arosa-Switzerland menunjukkan metafora tentang tubuh dan semesta. Bangunan ini adalah sebuah spa center yang terletak di sebuah kawasan pegunungan di Switzerland. Di sekelilingnya adalah hutan pinus dan cemara. Ia membuat sedemikian rupa bangunannya sehingga terlihat seakan-akan menyatu dengan hutan pinus dan cemara di sekitarnya. Permainan material kaca dan baja, lalu diramu seperti “daun” menjadi bahasa metaforis untuk menjawab dari satu sisi manusia “costumer service”. Di tempat itu manusia seakan-akan diberi kesempatan untuk mengenali tubuhnya sendiri, menikmati teknologi dan menikmati alam pegunungan yang indah.
Pada kasus lainnya dapat kita lihat pada Jewish Museum di Berlin yang dirancang oleh Daniel Libeskind. Dalam perancangannya sang arsitek menekankan filosofi “Yang terpenting dari segala hal adalah bagaimana kau mendapatkan pengalaman dari ruang itu sendiri. Ini membuat orang untuk memunculkan segala macam intepretasi.” Libeskind menginginkan pengunjung mendapatkan pengalaman baru saat memasuki museum layaknya sebuah petualangan. Perjalanan di dalam museum dikiaskan menjadi sebuah petualangan yang mengesankan. Semua itu ditransformasikan ke dalam konfigurasi ruangan yang berbentuk zig-zag. Ini dimaksudkan agar pengunjung tersesat dan mengalami sensai petualangan yang sama ketika bangsa Yahudi diusir dan kehilangan arah tujuan saat terjadinya peristiwa Holocaust oleh Nazi Jerman.
Inovasi si Arsitek yang mendesain sirkulasi denah yang extra-ordinary mengakibatkan museum ini kehilangan tipologinya dari segi sirkulasi. Pengunjung yang datang tidak akan dapat merasakan suasana layaknya museum saat berada di dalam ruangan, akan tetapi pengunjung akan mendapatkan nuansa pengalaman baru dengan keunikan museum tersebut.
Contoh lain pada perancangan Metafora dalam arsitektur adalah New Louvre Museum di Abu Dabhi yang dirancang oleh Jean Nouvel. Ia melakukan pendekatan metafora yang mengibaratkan museum seperti ruang di dalam hutan. Secara eksterior museum ini tidak terlihat seperti hutan, akan tetapi bila masuk ke dalamnya ruang yang tercipta di dalamnya sangat puitis. Skylight yang dirancang memasukkan sinar matahari alami menembus ruangan dan memberikan kesan seperti di dalam hutan. Ini memberikan terobosan baru dalam perancangan museum. Dimana bila sebelumnya, penekanan museum lebih ditekankan pada aspek sirkulasi ataupun penataan barang yang akan di-display, Jean Nouvel membuat sebuah terobosan baru dengan menciptakan ruang yang metaforis dan puitis agar tercipta suasana yang “khusyuk” dalam menikmati kunjungan di dalam museum.
Di Indonesia sendiri, penggunaan metode metafora pernah digunakan M.Ridwan Kamil dalam merancang Museum Tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam. Konsep besarnya adalah “Rumoh Aceh as a ascape hill”. Ia mengibaratkan museum sebagai rumah panggung yang dapat menyelamatkan diri para penduduk Aceh bila sewaktu-waktu terjadi Tsunami.
Di dalamnya juga menceritakan dan mengajak kita untuk merasakan suasana saat Tsunami terjadi. Di awali dengan pintu masuk yang “menekan” perasaan pengunjung dengan luasan yang sempit dan di dindingnya terdapat air yang mengalir (water wall) seolah-olah pengunjung dibawa masuk ke dalam dasar laut yang amat dalam. Lalu masuk ke dalam galeri pertama yang memuat data-data tentang Tsunami. Ruangan ini terletak di bawah reflecting pool dari public park yang dimiliki oleh museum Tsunami ini. Ruangan ini memberikan kesan suram dimana pengunjung seakan-akan berada benar-benar di dasar laut. Dengan penggunaan langit-langit kaca membuat cahaya temaram dari atas yaitu reflecting tadi menambah kesan dramatis pada ruang ini. Pada perjalanan terakhir dihadapkan pada ruangan yang menampilkan nama-nama korban Tsunami yang ditulis pada dinding yang berebntuk silinder yang menjulang ke atas. Pada puncaknya terdapat kaligrafi Allah yang berpendar dan ini ditujukan untuk menambah kesan sakral. Ini bermakna bahwa akhir perjalanan manusia berada pada tangan Tuhan dan tidak ada yang dapat menghindar dari kematian.
Ada juga nama seperti Adi Purnomo yang mencoba bermain metafora dalam karyanya. Satu contoh kasus adalah pada desainnya Rumah Tangkuban Perahu di Jakarta. Berawal dari sebuah keterkejutannya tentang semacam “ide gila” si pemilik rumah minta dibuatkan amphiteatre di dalam rumahnya. Lantas menjawab tantangan ini, Adi Purnomo sang arsitek mengawali dari konteks arsitektur sebagai solusi programatik untuk menjawab kesulitan yang terjadi di lapangan. Kesulitan yang muncul pertama kali adalah konflik antara fungsi public dan privat jika aktivitas pada amphiteatre terjadi cukup sering. Di samping itu, volume rumah kemungkinan akan membengkak.
Solusi dilakukan dengan cara memperlebar tangga sehingga berfungsi sebagai amphiteatre.Pada bagian bawah dan belakangnya digunakan sebagai ruang dapur dan pembantu. Ruang terbuka disediakan di atap-atap rumput untuk menambah luasan jika terjadi kegiatan yang cukup besar. Lantai bawah seperti garasi dan ruang-ruang duduk dibuat fleksibel sehingga mengahadap pada ruang terbuka.
Untuk areal privat seperti kamar tidur, ruang makan dan toilet diletakkan pada lantai dua yang dapat ditutup aksesnya jika kegiatan amphiteatre sedang berlangsung.
Adi Purnomo mengibaratkan rumah ini sebagai sel tunggal yang memiliki kemampuan dalam memperbaiki kehidupan sekitarnya. Hal ini berdasarkan pada arsitektur adalah solusi bagi permasalahan lingkungan. Menganggap lingkungan sekitar adalah tubuh dan rumah adalah sebuah sel tunggal yang mampu memperbaiki diri di saat sistem tubuh tak mampu berfungsi atau gagal. Implementasinya dengan menerapkan penggunaan atap rumput, vegetasi peneduh, kolam pendingin, cross ventilation yang baik dan permainan cahaya alami yang apik. Sehingga dengan adanya hal-hal tersebut dapat mengurangi dampak lingkungan semisal polusi dan menghemat energi.
Begitulah metafora dalam arsitektur yang mengibaratkan arsitektur sebagai sebuah bahasa yang dapat mengandung sebuah pesan di dalamnya. Ketika kata dan imaji tidak mampu lagi menyampaikan pesan, arsitektur dalam bahasa metafora menjawabnya dengan bentuk, ruang dan fungsi.
B. Pendapat para ahli tentang metafora
1. Menurut Anthony C. Antoniades, 1990 dalam ”Poethic of Architecture”
Suatu cara memahami suatu hal, seolah hal tersebut sebagai suatu hal yang lain sehingga dapat mempelajari pemahaman yang lebih baik dari suatu topik dalam pembahasan. Dengan kata lain menerangkan suatu subyek dengan subyek lain, mencoba untuk melihat suatu subyek sebagai suatu yang lain.
2. Menurut James C. Snyder, dan Anthony J. Cattanese dalam “Introduction of Architecture”
Metafora mengidentifikasikan pola-pola yang mungkin terjadi dari hubungan-hubungan paralel dengan melihat keabstrakannya, berbeda dengan analogi yang melihat secara literal
3. Menurut Charles Jenks, dalam ”The Language of Post Modern Architecture”
Metafora sebagai kode yang ditangkap pada suatu saat oleh pengamat dari suatu obyek dengan mengandalkan obyek lain dan bagaimana melihat suatu bangunan sebagai suatu yang lain karena adanya kemiripan.
4. Menurut Geoffrey Broadbent, 1995 dalam buku “Design in Architecture”
Metafora pada arsitektur adalah merupakan salah satu metod kreatifitas yang ada dalam desain spektrum perancang.
C. Prinsip-prinsip dalam konsep metafora
Arsitektur yang berdasarkan prinsip-prinsip Metafora, pada umumnya dipakai jika :
1. mencoba atau berusaha memindahkan keterangan dari suatu subjek ke subjek lain.
2. mencoba atau berusaha untuk melihat suatu subjek seakan-akan sesuatu hal yang lain.
3. mengganti fokus penelitian atau penyelidikan area konsentrasi atau penyelidikan lainnya (dengan harapan jika dibandingkan atau melebihi perluasan kita dapat menjelaskan subjek yang sedang dipikirkan dengan cara baru).
D. Kegunaan konsep metafora
Kegunaan penerapan Metafora dalam Arsitektur sebagai salah satu cara atau metode sebagai perwujudan kreativitas Arsitektural, yakni sebagai berikut :
- Memungkinkan untuk melihat suatu karya Arsitektural dari sudut pandang yang lain.
- Mempengaruhi untuk timbulnya berbagai interprestasi pengamat.
- Mempengaruhi pengertian terhadap sesuatu hal yang kemudian dianggap menjadi hal yang tidak dapat dimengerti ataupun belum sama sekali ada pengertiannya
- Dapat menghasilkan Arsitektur yang lebih ekspresif.
E. Tiga kategori dari metafora :
Ø Intangible Metaphor (metafora yang tidak diraba)
Intangible methaphors, (metafora yang tidak dapat diraba) metafora yang berangkat dari suatu konsep, ide, hakikat manusia dan nilai-nilai seperti : individualisme, naturalisme, komunikasi, tradisi dan budaya.
Ø Tangible Metaphors (metafora yang dapat diraba)
Tangible methaphors (metafora yang nyata), Metafora yang berangkat dari hal-hal visual serta spesifikasi / karakter tertentu dari sebuah benda seperti sebuah rumah adalah puri atau istana, maka wujud rumah menyerupai istana.
Ø Combined Metaphors (penggabungan antara keduanya)
Combined methafors (metafora kombinasi), merupakan penggabungan kategori 1 dan kategori 2 dengan membandingkan suatu objek visual dengan yang lain dimana mempunyai persamaan nilai konsep dengan objek visualnya. Dapat dipakai sebagai acuan kreativitas perancangan.
Metafora berasal dari bahasa latin yaitu “Methapherein” yang terdiri dari 2 buah kata yaitu “metha” yang berarti : setelah, melewati dan “pherein” yang berarti :membawa.
Secara etimologis diartikan sebagai pemakaian kata-kata bukan arti sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan dan perbandingan.Pada awal tahun 1970-an muncul ide untuk mengkaitkan arsitektur dengan bahasa, menurut Charles Jenks dalam bukunya “The Language of Post Modern” dimana Arsitektur dikaitkan dengan gaya bahasa, antara lain dengan cara metafora.Pengertian Metafora dalam Arsitektur adalah kiasan atau ungkapan bentuk, diwujudkan dalam bangunan dengan harapan akan menimbulkan tanggapan dari orang yang menikmati atau memakai karyanya.
Metafora mengidentifikasikan hubungan antara benda dimana hubungan tersebut lebih bersifat abstrak daripada nyata serta mengidentifikasikan pola hubungan sejajar. Dengan metafora seorang perancang dapat berkreasi dan bermain-main dengan imajinasinya untuk diwujudkan dalam bentuk karya arsitektur.
Metafora dapat mendorong arsitek untuk memeriksa sekumpulan pertanyaan yang muncul dari tema rancangan dan seiring dengan timbulnya interpretasi baru. Karya –karya arsitektur dari arsitek terkenal yang menggunakan metoda rancang metafora,hasil karyanya cenderung mempunyai langgam Postmodern.
Metafora atau kiasan pada dasarnya mirip dengan konsep analogi dalam arsitektur, yaitu menghubungkan di antara benda-benda. Tetapi hubungan ini lebih bersifat abstrak ketimbang nyata yang biasanya terdapat dalam metode analogi bentuk. Perumpamaan adalah metafora yang menggunakan kata-kata senada dengan “bagaikan” atau “seperti” untuk mengungkapkan suatu hubungan. Metafora dan perumpamaan mengidentifikasi pola hubungan sejajar.
Charles Moore, dalam suatu pembahasan tentang hal menarik hatinya, mengemukakan bahwa ia ingin agar bangunan-bangunan menyerupai batu alam. Metafora itu dikembangkannya dalam suatu skenario singkat:
Di Pulau St. Simon, Georgia, Kondominium-kondominium dekat pantai melakukan sesuatu untuk menanggapi citra (bagai batu alam ) ini. Dalam hal ini terjadi dialog antara konteks lingkungan dengan bangunan yang dibangun. Rupanya ini adalah sebuah perkebunan Georgia tua, tapi sangat besar, di bagian dalam maupun luarnya terdiri dari sekumpulan tembok yang berwarna cerah dan meriah yang sangat dekoratif dalam sebuah ruang interior.
Batu alam adalah metafora konseptual yang mengemukakan bagaimana bangunan dapat mempunyai dua citra sekaligus. Bila dipandang dari luar, bangunan tersebut memiliki citra yang mungkin senada dengan alam sekitar. Ia dapat mempunyai citra yang berlainan di dalam bangunan. Bagaikan suatu lingkungan yang menghibur, teatrikal, dan dramatis yang cocok untuk daerah peristirahatan.
Contoh-contoh lain tentang metafora meliputi daftar provokatif definisi-definisi dan penjelasan-penjelasan tentang berbagai aspek arsitektur. Definisinya tentang arsitektur sendiri adalah suatu perumpamaan. Arsitektur bagaikan Kristal. Metafora-metafora lain yang dibahas di bukunya, In Praise of Architecture meliputi, “Obelisk adalah sebuah teka-teki”, “sumber adalah suatu suara”, “Kamar adalah suatu dunia”, “Pintu adalah suatu undangan”, “Deretan kolom adalah sebuah paduan suara”, “Rumah adalah suatu mimpi.”
Hal ini dibuktikan oleh beberapa arsitek dalam merancang karyanya. Sebut saja Mario Botta, Daniel Libeskind, dan Jean Nouvel. Kalau dalam negeri kita mengenal M. Ridwan Kamil dan Adi Purnomo yang pernah menggunakan metafora dalam perancangan karya arsitekturnya.
Mario Botta dalam karyanya The Botta Berg Oase, Arosa-Switzerland menunjukkan metafora tentang tubuh dan semesta. Bangunan ini adalah sebuah spa center yang terletak di sebuah kawasan pegunungan di Switzerland. Di sekelilingnya adalah hutan pinus dan cemara. Ia membuat sedemikian rupa bangunannya sehingga terlihat seakan-akan menyatu dengan hutan pinus dan cemara di sekitarnya. Permainan material kaca dan baja, lalu diramu seperti “daun” menjadi bahasa metaforis untuk menjawab dari satu sisi manusia “costumer service”. Di tempat itu manusia seakan-akan diberi kesempatan untuk mengenali tubuhnya sendiri, menikmati teknologi dan menikmati alam pegunungan yang indah.
Pada kasus lainnya dapat kita lihat pada Jewish Museum di Berlin yang dirancang oleh Daniel Libeskind. Dalam perancangannya sang arsitek menekankan filosofi “Yang terpenting dari segala hal adalah bagaimana kau mendapatkan pengalaman dari ruang itu sendiri. Ini membuat orang untuk memunculkan segala macam intepretasi.” Libeskind menginginkan pengunjung mendapatkan pengalaman baru saat memasuki museum layaknya sebuah petualangan. Perjalanan di dalam museum dikiaskan menjadi sebuah petualangan yang mengesankan. Semua itu ditransformasikan ke dalam konfigurasi ruangan yang berbentuk zig-zag. Ini dimaksudkan agar pengunjung tersesat dan mengalami sensai petualangan yang sama ketika bangsa Yahudi diusir dan kehilangan arah tujuan saat terjadinya peristiwa Holocaust oleh Nazi Jerman.
Inovasi si Arsitek yang mendesain sirkulasi denah yang extra-ordinary mengakibatkan museum ini kehilangan tipologinya dari segi sirkulasi. Pengunjung yang datang tidak akan dapat merasakan suasana layaknya museum saat berada di dalam ruangan, akan tetapi pengunjung akan mendapatkan nuansa pengalaman baru dengan keunikan museum tersebut.
Contoh lain pada perancangan Metafora dalam arsitektur adalah New Louvre Museum di Abu Dabhi yang dirancang oleh Jean Nouvel. Ia melakukan pendekatan metafora yang mengibaratkan museum seperti ruang di dalam hutan. Secara eksterior museum ini tidak terlihat seperti hutan, akan tetapi bila masuk ke dalamnya ruang yang tercipta di dalamnya sangat puitis. Skylight yang dirancang memasukkan sinar matahari alami menembus ruangan dan memberikan kesan seperti di dalam hutan. Ini memberikan terobosan baru dalam perancangan museum. Dimana bila sebelumnya, penekanan museum lebih ditekankan pada aspek sirkulasi ataupun penataan barang yang akan di-display, Jean Nouvel membuat sebuah terobosan baru dengan menciptakan ruang yang metaforis dan puitis agar tercipta suasana yang “khusyuk” dalam menikmati kunjungan di dalam museum.
Di Indonesia sendiri, penggunaan metode metafora pernah digunakan M.Ridwan Kamil dalam merancang Museum Tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam. Konsep besarnya adalah “Rumoh Aceh as a ascape hill”. Ia mengibaratkan museum sebagai rumah panggung yang dapat menyelamatkan diri para penduduk Aceh bila sewaktu-waktu terjadi Tsunami.
Di dalamnya juga menceritakan dan mengajak kita untuk merasakan suasana saat Tsunami terjadi. Di awali dengan pintu masuk yang “menekan” perasaan pengunjung dengan luasan yang sempit dan di dindingnya terdapat air yang mengalir (water wall) seolah-olah pengunjung dibawa masuk ke dalam dasar laut yang amat dalam. Lalu masuk ke dalam galeri pertama yang memuat data-data tentang Tsunami. Ruangan ini terletak di bawah reflecting pool dari public park yang dimiliki oleh museum Tsunami ini. Ruangan ini memberikan kesan suram dimana pengunjung seakan-akan berada benar-benar di dasar laut. Dengan penggunaan langit-langit kaca membuat cahaya temaram dari atas yaitu reflecting tadi menambah kesan dramatis pada ruang ini. Pada perjalanan terakhir dihadapkan pada ruangan yang menampilkan nama-nama korban Tsunami yang ditulis pada dinding yang berebntuk silinder yang menjulang ke atas. Pada puncaknya terdapat kaligrafi Allah yang berpendar dan ini ditujukan untuk menambah kesan sakral. Ini bermakna bahwa akhir perjalanan manusia berada pada tangan Tuhan dan tidak ada yang dapat menghindar dari kematian.
Ada juga nama seperti Adi Purnomo yang mencoba bermain metafora dalam karyanya. Satu contoh kasus adalah pada desainnya Rumah Tangkuban Perahu di Jakarta. Berawal dari sebuah keterkejutannya tentang semacam “ide gila” si pemilik rumah minta dibuatkan amphiteatre di dalam rumahnya. Lantas menjawab tantangan ini, Adi Purnomo sang arsitek mengawali dari konteks arsitektur sebagai solusi programatik untuk menjawab kesulitan yang terjadi di lapangan. Kesulitan yang muncul pertama kali adalah konflik antara fungsi public dan privat jika aktivitas pada amphiteatre terjadi cukup sering. Di samping itu, volume rumah kemungkinan akan membengkak.
Solusi dilakukan dengan cara memperlebar tangga sehingga berfungsi sebagai amphiteatre.Pada bagian bawah dan belakangnya digunakan sebagai ruang dapur dan pembantu. Ruang terbuka disediakan di atap-atap rumput untuk menambah luasan jika terjadi kegiatan yang cukup besar. Lantai bawah seperti garasi dan ruang-ruang duduk dibuat fleksibel sehingga mengahadap pada ruang terbuka.
Untuk areal privat seperti kamar tidur, ruang makan dan toilet diletakkan pada lantai dua yang dapat ditutup aksesnya jika kegiatan amphiteatre sedang berlangsung.
Adi Purnomo mengibaratkan rumah ini sebagai sel tunggal yang memiliki kemampuan dalam memperbaiki kehidupan sekitarnya. Hal ini berdasarkan pada arsitektur adalah solusi bagi permasalahan lingkungan. Menganggap lingkungan sekitar adalah tubuh dan rumah adalah sebuah sel tunggal yang mampu memperbaiki diri di saat sistem tubuh tak mampu berfungsi atau gagal. Implementasinya dengan menerapkan penggunaan atap rumput, vegetasi peneduh, kolam pendingin, cross ventilation yang baik dan permainan cahaya alami yang apik. Sehingga dengan adanya hal-hal tersebut dapat mengurangi dampak lingkungan semisal polusi dan menghemat energi.
Begitulah metafora dalam arsitektur yang mengibaratkan arsitektur sebagai sebuah bahasa yang dapat mengandung sebuah pesan di dalamnya. Ketika kata dan imaji tidak mampu lagi menyampaikan pesan, arsitektur dalam bahasa metafora menjawabnya dengan bentuk, ruang dan fungsi.
B. Pendapat para ahli tentang metafora
1. Menurut Anthony C. Antoniades, 1990 dalam ”Poethic of Architecture”
Suatu cara memahami suatu hal, seolah hal tersebut sebagai suatu hal yang lain sehingga dapat mempelajari pemahaman yang lebih baik dari suatu topik dalam pembahasan. Dengan kata lain menerangkan suatu subyek dengan subyek lain, mencoba untuk melihat suatu subyek sebagai suatu yang lain.
2. Menurut James C. Snyder, dan Anthony J. Cattanese dalam “Introduction of Architecture”
Metafora mengidentifikasikan pola-pola yang mungkin terjadi dari hubungan-hubungan paralel dengan melihat keabstrakannya, berbeda dengan analogi yang melihat secara literal
3. Menurut Charles Jenks, dalam ”The Language of Post Modern Architecture”
Metafora sebagai kode yang ditangkap pada suatu saat oleh pengamat dari suatu obyek dengan mengandalkan obyek lain dan bagaimana melihat suatu bangunan sebagai suatu yang lain karena adanya kemiripan.
4. Menurut Geoffrey Broadbent, 1995 dalam buku “Design in Architecture”
Metafora pada arsitektur adalah merupakan salah satu metod kreatifitas yang ada dalam desain spektrum perancang.
C. Prinsip-prinsip dalam konsep metafora
Arsitektur yang berdasarkan prinsip-prinsip Metafora, pada umumnya dipakai jika :
1. mencoba atau berusaha memindahkan keterangan dari suatu subjek ke subjek lain.
2. mencoba atau berusaha untuk melihat suatu subjek seakan-akan sesuatu hal yang lain.
3. mengganti fokus penelitian atau penyelidikan area konsentrasi atau penyelidikan lainnya (dengan harapan jika dibandingkan atau melebihi perluasan kita dapat menjelaskan subjek yang sedang dipikirkan dengan cara baru).
D. Kegunaan konsep metafora
Kegunaan penerapan Metafora dalam Arsitektur sebagai salah satu cara atau metode sebagai perwujudan kreativitas Arsitektural, yakni sebagai berikut :
- Memungkinkan untuk melihat suatu karya Arsitektural dari sudut pandang yang lain.
- Mempengaruhi untuk timbulnya berbagai interprestasi pengamat.
- Mempengaruhi pengertian terhadap sesuatu hal yang kemudian dianggap menjadi hal yang tidak dapat dimengerti ataupun belum sama sekali ada pengertiannya
- Dapat menghasilkan Arsitektur yang lebih ekspresif.
E. Tiga kategori dari metafora :
Ø Intangible Metaphor (metafora yang tidak diraba)
Intangible methaphors, (metafora yang tidak dapat diraba) metafora yang berangkat dari suatu konsep, ide, hakikat manusia dan nilai-nilai seperti : individualisme, naturalisme, komunikasi, tradisi dan budaya.
Ø Tangible Metaphors (metafora yang dapat diraba)
Tangible methaphors (metafora yang nyata), Metafora yang berangkat dari hal-hal visual serta spesifikasi / karakter tertentu dari sebuah benda seperti sebuah rumah adalah puri atau istana, maka wujud rumah menyerupai istana.
Ø Combined Metaphors (penggabungan antara keduanya)
Combined methafors (metafora kombinasi), merupakan penggabungan kategori 1 dan kategori 2 dengan membandingkan suatu objek visual dengan yang lain dimana mempunyai persamaan nilai konsep dengan objek visualnya. Dapat dipakai sebagai acuan kreativitas perancangan.
Subscribe to:
Posts (Atom)
HUNIAN VERTIKAL, Untuk siapa ?
sumber gambar : mumbailive.com secara fundamental, pembangunan hunian vertikal pada kawasan perkotaan adalah suatu bentuk penataan ruan...
-
Keindahan akan karakteristik yang khas dari arsitektur nusantara telah dikenal luas hingga ke luar negeri, Arsitektur nusantara ...
-
Rumah tempat tinggal suku bugis dibedakan berdasarkan status sosial dalam suku bugis dikenal dengan istilah saoraja, salassa, dan bala. Sa...
-
Filosofi logo Logo diatas Secara umum terlihat seperti menggambarkan lambang perdamaian (peace) Lambang peace secara univer...