SAORAJA LA PINCENG - BARRU
Keindahan akan karakteristik yang khas dari arsitektur nusantara telah dikenal luas hingga ke luar negeri, Arsitektur nusantara sebagian besar merupakan bangunan rumah adat atau rumah tinggal yang dibangun berdasarkan adat dan tradisi setempat. Proses pendirian rumah tradisional sejak awal penentuan lokasi hingga didirikan dan dihuni, tidak pernah lepas dari pengaruh adat, kepercayaan dan tradisi. Oleh karena itu, arsitektur nusantara seringkali disebut juga sebagai Arsitektur Tradisional atau Rumah Tradisional.
Arsitektur tradisional merupakan hasil dari lingkungannya. Selain itu, pembangunan Rumah Tradisional selalu melibatkan tidak hanya pemilik rumah namun juga seluruh masyarakat setempat atau komunitas.
Rumah-rumah adat di Indonesia memiliki bentuk dan arsitektur masing-masing daerah sesuai dengan budaya adat lokal. Rumah adat pada umumnya dihiasi ukiran-ukiran indah, pada jaman dulu, rumah adat yang tampak paling indah biasa dimiliki para keluarga kerajaan atau ketua adat setempat menggunakan kayu-kayu pilihan dan pengerjaannya dilakukan secara tradisional melibatkan tenaga ahli dibidangnya.
Terlepas dari segi antropologi ataupun asal usulnya, bentuk Rumah adat Tradisional saoraja lapinceng, menggambarkan karakteristik dan keindahan arsitektur nusantara, serta kekayan adat dan tradisi lokal. akan tetapi unsur-unsur lokal dianggap telah kuno dan tidak menarik. Kearifan lokal dan tradisi ikut tergerus perkembangan jaman.
Oleh karena itu, kesadaran akan pentingnya belajar karakteristik dan kearifan arsitektur tradisional nusantara melalui karakteristik rumah adat saoraja lapinceng.
Kata kunci : rumah adat, karakteristik arsitektur nusantara, saoraja lapincen
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rumah Adat adalah bangunan yang memiliki ciri khas khusus, digunakan untuk tempat hunian oleh suatu suku bangsa tertentu. Rumah adat merupakan salah satu representasi kebudayaan yang paling tinggi dalam sebuah komunitas suku/masyarakat. Keberadaan rumah adat di Indonesia sangat beragam dan mempunyai arti yang penting dalam perspektif sejarah, warisan, dan kemajuan masyarakat dalam sebuah peradaban.
Rumah-rumah adat di Indonesia memiliki bentuk dan arsitektur masing-masing daerah sesuai dengan budaya adat lokal. Rumah adat pada umumnya dihiasi ukiranukiran indah, pada jaman dulu, rumah adat yang tampak paling indah biasa dimiliki para keluarga kerajaan atau ketua adat setempat menggunakan kayu-kayu pilihan dan pengerjaannya dilakukan secara tradisional melibatkan tenaga ahli dibidangnya, Banyak rumah-rumah adat yang saat ini masih berdiri kokoh dan sengaja dipertahankan dan dilestarikan sebagai simbol budaya Indonesia.
Seiring perkembangan zaman, maka terjadi pula perubahan kebutuhan bangunan manusia di zaman yang baru ini. Rumah adat atau rumah tradisional pun banyak yang mengalami perubahan dan tidak sedikit rumah adat atau tradisional yang hampir punah. Kebutuhan manusia yang berubah menyebabkan terjadinya perubahan pada kebutuhan bangunan yang kurang sesuai dengan yang ada sebelumnya. Tidak jarang rumah tradisional atau rumah adat yang ada mengalami perubahan dan tidak memperhatikan nilai filosofis yang seharusnya diperhatikan.
Terjadinya perubahan tersebut menyebabkan perlu diidentifikasi kembali mengenai rumah adat tradisional saoraja lapinceng kabupaten barru yang ada saat ini.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka permasalahan yang akan dirumuskan dan dipecahkan dalam penelitian ini antara lain :
a) Bagaimana karakteristik rumah adat tradisional saoraja lapinceng kabupaten barru ?
b) Bagaimana kondisi rumah adat tradisional saoraja lapinceng kabupaten barru ?
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Latar Belakang Sejarah
Kabupaten Barru dahulu sebelum terbentuk adalah sebuah kerajaan kecil yang masing-masing dipimpin oleh seorang raja, yaitu: Kerajaan Berru (Barru), Kerajaan Tanete, Kerajaan Soppeng Riaja dan Kerajaan Mallusetasi.
Pada masa pemerintahan Belanda dibentuk Pemerintahan Sipil Belanda di mana wilayah Kerajaan Barru, Tanete dan Soppeng Riaja dimasukkan dalam wilayah Onder Afdelling Barru yang bernaung di bawah Afdelling Parepare. Sebagai kepala Pemerintahan Onder Afdelling diangkat seorang control Belanda yang berkedudukan di Barru, sedangkan ketiga bekas kerajaan tersebut diberi status sebagai Self Bestuur (Pemerintahan Kerajaan Sendiri) yang mempunyai hak otonom untuk menyelenggarakan pemerintahan sehari-hari baik terhadap eksekutif maupun dibidang yudikatif.
Dari sejarahnya, sebelum menjadi daerah-daerah Swapraja pada permulaan Kemerdekaan Bangsa Indonesia, keempat wilayah Swapraja ini merupakan 4 bekas Self bestuur di dalam Afdelling Parepare, yaitu:
1. Bekas Self bestuur Mallusetasi yang daerahnya sekarang menjadi kecamatan Mallusetasi dengan Ibu Kota Palanro, adalah penggabungan bekas-bekas Kerajaan Lili di bawah kekuasan Kerajaan Ajattapareng yang oleh Belanda diakui sebagai Self bestuur, ialah Kerajaan Lili Bojo dan Lili Nepo.
2. Bekas Self bestuur Soppeng Riaja yang merupakan penggabungan 4 Kerajaan Lili di bawah bekas Kerajaan Soppeng (Sekarang Kabupaten Soppeng) Sebagai Satu Self bestuur, ialah bekas Kerajaan Lili Siddo, Lili Kiru-Kiru, Lili Ajakkang dan Lili Balusu.
3. Bekas Self bestuur Barru yang sekarang menjadi Kecamatan Barru dengan lbu Kotanya Sumpang Binangae yang sejak semula memang merupakan suatu bekas kerajaan kecil yang berdiri sendiri.
4. Bekas Self bestuur Tanete dengan pusat pemerintahannya di Pancana, daerahnya sekarang menjadi 3 Kecamatan, masing-masing Kecamatan Tanete Rilau, Kecamatan Tanete Riaja dan Kecamatan Pujananting.
Seiring dengan perjalanan waktu, maka pada tanggal 24 Februari 1960 merupakan tonggak sejarah yang menandai awal kelahiran Kabupaten Daerah Tingkat II Barru dengan ibukota Barru, berdasarkan Undang-Undang Nomor 229 tahun 1959 tentang pembentukan Daerah-daerah Tingkat II di Sulawesi Selatan. Kabupaten Barru terbagi dalam 7 Kecamatan yang memiliki 40 Desa dan 14 Kelurahan, berada ± 102 Km di sebelah Utara Kota Makassar, ibukota Sulawesi Selatan.
Sebelum dibentuk sebagai suatu Daerah Otonom berdasarkan UU No. 29 Tahun 1959, pada tahun 1961 daerah ini terdiri dari 4 wilayah Swapraja di dalam kewedanaan Barru, Kabupaten Parepare lama, masing-masing Swapraja Barru, Swapraja Tanete, Swapraja Soppeng Riaja dan bekas Swapraja Mallusetasi. Ibukota Kabupaten Barru sekarang bertempat di bekas ibukota Kewedanaan Barru.
2.2 Letak Geografis, Topografi Wilayah Kabupaten Barru
Kabupaten Barru berada di pesisir Barat Provinsi Sulawesi Selatan, terletak antara koordinat 4⁰ 05’ 49” - 4⁰ 47’ 35” Lintang Selatan dan 119⁰ 49’ 16” Bujur Timur.
Dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
- Sebelah Utara : Kota Parepare dan Kabupaten Sidrap
- Sebelah Timur : Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Bone
- Sebelah Selatan : Kabupaten Pangkajene Kepulauan
- Sebelah Barat : Selat Makassar
Luas Wilayah Kabupaten Barru = 1.174,72 km2 (11,427 Ha) yang terdiri dari daerah pantai, dataran rendah, dataran tinggi perbukitan dan gunun g-gunung (pegunungan).
Ketinggian wilayah Kabupaten Barru 0 - 25 meter dari permukaan laut (mdpl) seluas 26.319 Ha (22,40 %); 25 - 100 m dpl seluas 12.543 Ha (10,68 %); 100 - 500 m dpl seluas 52.781 Ha (44,93%); 500 - 1.000 mdpl seluas 23.812 Ha (20.27 %); 1.000 - 1.500 m dpl seluas 1.941 Ha (1,65%) dan > 1.500 mdpl seluas 75 Ha (0,06%).
Kemiringan lereng 0 – 2 % seluas 26.596 Ha (22,64 %); 3 - 15 % seluas 7.043 Ha (5,49%); 16-40 % seluas 33.246 Ha (28,31%) dan > 40% seluas 50.587 Ha (43,06%).
Jenis tanah d iKabupaten Barru didominasi oleh jenis Regosol seluas 41.254 Ha (38,20%); Mediteran seluas 32.516 Ha (27,68%); Litosol seluas 29.043 Ha (24,72%); Aluvial seluas 4.659 Ha (2,48%).
2.3 Sistem Kekerabatan dan Hubungan Sesama Manusia pada Adat Bugis Barru
Pengetahuan tentang sesama manusia juga tidak dapat diabaikan. Sebelum terpengaruhilmu psikologi modern, sebuah suku bangsa dalam bergaul dengan sesamanya biasanya berpegangan dengan ilmu firasat (pengetahuan tantang tipe-tipe wajah) atau pengetahuan tentang tanda-tanda tubuh tersebut. Dalam hal ini bisa dikategorikan ada di dalamnyayaitu pengetahuan tentang sopan-santun, adat-istiadat, sistem norma, hukum adat, silsilah,sejarah, dsb.
Dalam Suku Bugis, adat istiadat (yang juga dikenal dengan konsep ade‘), kontrak sosial, serta spiritualitas yang terjadi di masa lalu mengacu kepada kehidupan dewa-dewa yang diyakini. Di sana juga dikenal istilah pamali sebuah ungkapan yang bersifat spontan sebagai bentuk pelarangan dengan penekanan
pada kejiwaan, untuk tidak melanggar hal yang dianggap pemali.
Ada pula istilah siri’, yaitu ajaran moralitas untuk menjaga dan mempertahankan diri dan kehormatannya. Siri’ juga bisa dikatakan hukum adat karena jika seorang anggota keluarga melakukan tindakan yang membuat malu keluarga, maka ia dianggap menginjak ajaran siri’ dan akan diusir atau dibunuh. Namun, adat ini sudah luntur di zaman sekarang ini. Siri’ terbagi menjadi dua yaitu, siri' nipakasiri‘ dan siri' masiri'.
Sistem kekerabatan orang Bugis disebut assiajingeng yang mengikuti sistem bilateral atau sistem yang mengikuti pergaulan hidup dari ayah maupun dari pihak ibu. Dalam suku Bugis zaman dulu dikenal tiga strata sosial atau kasta, yaitu ana’arung (bangsawan) yang punya beberapa sub kasta lagi (kasta tertinggi).
To Maradeka atau Orang merdeka (orang kebanyakan sebagai kasta pertengahan), dan yang terakhir kasta terendah yaitu kasta ata atau budak. Perlu dicatat pula dalam status sosial yang berhubungan dengan status gender di suku Bugis ada yang dikenal dengan istilah bissu, sebutan untuk seorang transgender (waria), menariknya bissu dalam masyarakat Bugis memiliki kedudukan terhormat dan mendapat julukan manusia setengah dewa.
2.4 Sistem Kepercayaan dan Mitologi Lokal Bugis
Di Sulawesi Selatan terdapat sistem kepercayaan tradisional yang bersumber pada mitologi I Lagaligo. Kepercayaan ini tidak lenyap, meskipun semakin serius terdesak dan bertentangan oleh ajaran islam yang masuk ke wilayah ini akhir abad ke-16.
Dipandang dari ranah politik, mitologi merupakan suatu kebutuhan yang eksistensi nilai-nilai yang berfungsi untuk mempertahankan keberkangsungan hidup suatu masyarakat. Dengan mitologi, secara sadar atau tidak, suatu otoritas akan diamuni oleh para penganutnya. Oleh karena itu setiap pembentukan kekuasaan baru dalam masyarakat tradisionil biasa diikuti dengan mitologisasi kekuasaan itu membenarkan eksistensinya dimata kelompok atau lingkungan pengikutnya. Mitos mengukuhkan kedudukan penguasa dalam masyarakatnya.
Mitologi I Lagaligo semula milik kerajaan luwu yang terletak di utara teluk Bone, kemudian menjadi milik seluruh komunitas Bugis; bahkan meluas pada beberapa suku yang berbahasa sendiri, seperti suku Toraja, Enrekang, Mandar, Wolio (Sulawesi Tenggara), Kaili (Sulawesi Tengah) dan Gorontalo.
Meskipun dalam aneka cerita lepas yang masing-masing tidak memiliki hubungan. Di Luwu cerita I Lagaligo lebih merupakan hasil ciptaan orang-orang setempat, meskipun demikian, memiliki fungsi yang sama, yaitu menjadi sumber berbagai tradisi dantata cara adat, bahkan menjadi sastra keramat yang mengisahkan hal ikhwal nenek moyang pemilik cerita mereka hormati. Sebagai sastra yang keramat. Di Sidenreng pada pertengahan abad 9, syair-syair I Lagaligo dibacakan untuk menghormati orang sakit.
Cerita I Lagaligo dimulai dengan permufakatan para Dewa di Kayangan untuk mengisi kehidupan dunia tengah (Bumi), dengan mengawinkan Batara Guru yaitu anak dari Datu PaotoE (Sang Pencifta) dengan We Nyilitimo yaitu anak dari Ri Selleng di dunia Bawah. Dari perkawinan ini lahirlah Batara Lattu yang dikawinkan dengan We Datu Senngeng, anak La Urumpessi. Perkawinan yang kedua melahirkan anak kembar laki-laki dan perempuan yaitu Sawerigading dan Tenriabeng. Dengan melalui petualangan yang berliku akhirnya Sawerigading berhasil mempersunting I We Cudai dari negeri Cina.
Dari perkawinan yang terakhir ini lahirlah I lagaligo. Selanjutnya We Tenriabeng mempunyai anak yaitu Salinrunglangi yang kelak kawin dengan putri Sawerigading yang benama Mutiotoja. Batara Guru, Batara Lattu, dan Salinrunglangi adalah raja dunia tengah (Bumi) yang berkedudukan di Luwu.
Datu PatotoE yang merupakan sang pencifta mempnyai peran yang sangat sentral, ia memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk menghubungkan kayangan, bumi dan dunia bawah. Transfer dari masing-masing dunia hanya terjadi atas kehendaknya, dan ditandai dengan kejadian alam seperti petir bersahut-sahutan, daratan dan lautan berguncang dengan hebat serta keadaan gelap gulita.
Keadaan menjadi normal kembali ketika perpindahan itu mencapai kesempurnaan. Hal ini terjadi misalnya ketika Salinrunglangi dipindahkan dari kayangan ke bumi yaitu di kerajaan Luwu. Salinrunglangi kemudian disebut dengan To manurung (orang yang turun dari kayangan) yang berwenang memerintah seluruh bumi dan isinya.
Pada akhir cerita Datu patotoE berpesan lewat utusannya supaya diusahakan orang-orang yang berdarah murni saling kawin-mawin. Raja di Luwu dipilih diantara bangsawan, yaitu yang paling tinggi derajat kebangswanannya. Menjelang pintu masuk kayangan akan ditutup dan dunia bawah akan dipalang, Datu PatotoE berjanji bahwa sejak saat itu dan seterusnya manurung-manurung berdarah putih dari waktu ke waktu dengan diam-diam dan secara rahasia akan dikirim ke Bumi, tempat kediaman manusia.
2.5 Karakteristik Arsitektur Rumah Adat Saoraja Lapinceng Barru
Pada umumnya karakteristik rumah tradisional adat suku bugis yaitu rumah adat bugis yang bisa dipindahkan dari satu tempat ketempat lain dengan konstruksi yang dibuat secara lepas-pasang (knock down). Orang Bugis memandang rumah tidak hanya sekedar tempat tinggal tetapi juga sebagai ruang pusat siklus kehidupan, tempat manusia dilahirkan, dibesarkan, menikah, dan meninggal.Karena itu, membangun rumah haruslah didasarkan tradisi dan kepercayaan yang diwarisi secara turun temurun dari leluhur. Konstruksi rumah berbentuk panggung yang terdiri atas tingkat atas, tengah, dan bawah yang juga sudah diatur dengan fungsi-fungsi khusus yaitu: tingkat atas digunakan untuk menyimpan padi dan benda-benda pusaka. Tingkat tengah, yang digunakan sebagai tempat tinggal, terbagi atas ruang-ruang untuk menerima tamu, tidur, makan dan dapur. Tingkat dasar yang berada di lantai bawah diggunakan untuk menyimpan alat-alat pertanian, dan kandang ternak.
Rumah tradisional bugis dapat juga digolongkan berdasarkan status pemiliknya atau berdasarkan pelapisan sosial yang berlaku.
Saoraja La Pinceng sendiri dibuat pada tahun 1895 terletak di Dusun Lapasu atau Bulu Dua Kabupaten Barru. Ukuran Ale Bola atau bangunan rumah induk berukuran kurang lebih 23,50 x 11 meter. Jumlah tiang Saoraja La Pinceng sebanyak 35 buah dengan panjang sekitar 6,50 meter, dan lebar sekitar 5,50 meter. Selain itu, juga terdapat sembilan buah tiang dengan ukuran 3 x 3 meter. Bangunan rumah dapur memiliki panjang sekitar 11 meter dan lebar sekitar 8 meter, dengan jumlah tiang 20 buah (5 x 4), ditambah dua buah tiang antara Ale Bola dengan rumah dapur yang berfungsi sebagai penyambung dan tempat penyanggah tangga belakang. Selain itu, di dalam lokasi Saoraja La Pinceng terdapat pula beberapa bangunan antara lain, rumah jaga dengan ukuran sekitar 7,50 x 4 meter, bangunan panggung pementasan dengan ukuran sekitar 9,50 x 5 meter. Juga terdapat bangunan kamar mandi dan sumur dengan ukuran sekitar 8,50 x 6,20 meter. Luas lokasi secara keseluruhan sekitar 4.000 meter persegi.
Selain itu, Sebelum masyarakat Bugis mengenal agama ‘impor’ seperti Islam, Kristen dan lain-lain, loteng rumah sebagai tempat menyemayankan jenazah. Jenazah diletakkan di dekat jendela kecil bagian depan (timpa’ laja).
Timpa’ laja menjadi jendela tempat melayang atau menghilangnya jenazah bagi masyarakat yang memiliki tingkat keilmuan, pengetahuan, dan kebaikan yang mumpuni. “Jenazah itu menunggu kilat dan guntur. Jika terjad SAi, jenazah akan menghilang. Jadi ditimpa’na millajangnna (dibuka dan melayang),” (Ibrahim, 2017)
Di rumah adat Lapinceng, di dekat timpa’ laja terdapat tiga balok menjorok dan mengapit pada di tiang utama rumah. Balok-balok itu diperkirakan tempat atau dudukan dalam meletakkan jenazah. Ia menggunakan peti atau hanya kain balutan jenazah.
Lapinceng berdiri di lahan 43 are. Halaman ditumbuhi rumput hijau. Di bagian depan ada rumah jaga. Bagain samping, ada hamparan sawah dan di depan mengallir Sungai Balusu.
Dari bagian depan, rumah Lapinceng berbeda dengan rumah Bugis lain. Teras tidak mengikuti badan rumah dan tertutup. Biasa, teras rumah Bugis selalu terbuka, tempat beristirahat penghuni dan tempat bercengkrama. Teras tertutup seperti menutup akses masyarakat luar melihat langsung keadaan bangunan. Apa yang menyebabkan seperti itu ? teras kecil di depan rumah tidak untuk orang, melainkan tempat kuda raja. (Ibrahim, 2017). Salah satu asumsi yang menguatkan, adalah bentuk anak tangga disusun rapat dan lebar. “Kalau tangga manusia, pasti berjenjang. Ini tidak, tentu memudahkan kuda menapak naik.” (Ibrahim, 2017).
Saat memasuki ruang utama rumah Lapinceng yang lapang, terlihat balok berdiri tidak sama tinggi. Balok itu, menandakan posisi strata sosial para tamu. Yang paling tinggi di sebelah kanan kiri raja, paling rendah di dekat ruang keluarga menuju dapur.
Pada ruang utama itu, terdapat dua buah pintu geser. Satu menuju ruang keluarga, satu berhubungan dengan kamar raja. Memasuki ruang tengah, terdapat tiga buah kamar. Kamar raja, selir dan keluarga.
Secara keseluruhan, rumah Lapinceng menggunakan 35 tiang dengan 23 jendela. Tinggi rumah dari permukaan tanah sekitar 6,5 meter, dengan tinggi keseluruhan tiang mencapai 15 meter hingga pucuk atap.
Tiang dan dinding kayu rumah ini menggunakan kayu bitti berlantai bambu. Potongan bambu untuk lantai diurut dengan begitu rupa, hingga semua ruas tulang benar-benar sejajar. “Jika menebang 100 bambu, bisa untuk lantai hanya 40 buah, karena tulang ruas harus benar-benar seajajar,” (Ibrahim, 2017).
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
HUNIAN VERTIKAL, Untuk siapa ?
sumber gambar : mumbailive.com secara fundamental, pembangunan hunian vertikal pada kawasan perkotaan adalah suatu bentuk penataan ruan...
-
Keindahan akan karakteristik yang khas dari arsitektur nusantara telah dikenal luas hingga ke luar negeri, Arsitektur nusantara ...
-
Rumah tempat tinggal suku bugis dibedakan berdasarkan status sosial dalam suku bugis dikenal dengan istilah saoraja, salassa, dan bala. Sa...
-
Filosofi logo Logo diatas Secara umum terlihat seperti menggambarkan lambang perdamaian (peace) Lambang peace secara univer...
Agen Judi Taruhan Online yang menyediakan permainan yang terlengkap hanya di BOLAVITA
ReplyDeleteAgen BOLAVITA menyediakan permainan Judi Taruhan Online yang sangat lengkap pastinya. Yang dapat Anda mainkan dimana dan kapanpun juga.
Dengan minimal deposit hanya Rp 50.000 saja sudah bisa mainkan permainan yang ada di Agen BOLAVITA
Agen BOLAVITA menyediakan jenis taruhan yang terlengkap dan terbesar yang bisa Anda coba mainkan.
• Bola Tangkas (Tangkasnet, Tangkas88 dan Tangkas1)
• Casino Online (WM Casino, Green Dragon dan SBOBET Casino)
• Sabung Ayam (S128, SV388 dan Kungfu Chicken)
• Taruhan Bola (SBOBET, MAXBET/ICB Bet dan 368 Bet)
• Togel Online (KLIK4D dan ISIN4D)
• Games Virtual / Slot Games (Joker dan Play1628)
Tunggu apalagi? Daftar dan gabung sekarang juga di www.bolavita.ltd
Jangan ngaku raja sabung ayam jika belum baca ini yaa
1. Daftar Sabung Ayam Cara S128 di BOLAVITA
2. Promo Promo BOLAVITA
Untuk info selanjutnya, bisa hubungi kami VIA:
Telegram : +62812-2222-995
Wechat : Bolavita
WA : +62812-2222-995
Line : cs_bolavita